Jumat, 10 Maret 2017

MENJENGUK KEMATIAN

oleh : ahmad suyudi


Ketika sakitku semakin menjadi, hampir-hampir seharian aku tak ingat apa pun dan tak mengetahui apa pun yang terjadi baik dalam diriku maupun keadaan di sekitarku. Malam itu aku tak mampu lagi menahan rasa haus yang benar-benar menyiksa diriku. Sebagai tuna netra tentu aku tidak melihat apa pun di sekitarku. Kurasa waktu itu sudah mendekati suasana tengah malam atau barangkali sudah lewat tengah malam. Aku tak ingin mengganggu tidur ibuku yang sudah tua renta itu. Kupaksakan aku berupaya sekuat tenaga bangkit dari tidurku. Tujuanku ingin mengambil air minum di dapur. Sempoyongan dan agak limbung kurasakan tubuhku ketika melangkah menuju ke dapur. Dan kunang-kunang kulihat mengepung di sekitar mataku yang buta. Aku tak mampu lagi menahan rasa yang mendera sekujur tubuhku yang sakit. Panas dan dingin sejak sore tadi silih berganti tak karuan kurasakan. Ketika langkahku memasuki pintu dapur tiba-tiba kurasakan kakiku terjerat seutas tali. Maka seketika itu pula aku terjatuh dan…

Dalam sekejap aku tak sadarkan diri. Namun, hanya dalam waktu setarikan nafas, sebuah keanehan tengah kualami dalam hidupku. Ya, keanehan yang baru kali ini saja aku alami seumur hidupku. Betapa saat itu aku tersentak keheranan menyaksikan tubuhku sendiri yang terkapar melintang di tengah pintu dapur. Tubuhku telah mati. Subhanallah! Demi Allah, baru pertama kali ini aku menyaksikan bentuk tubuhku sendiri. Laksana orang yang melek dan tidak buta aku melihat tubuh itu tergeletak lemas. Aku menangis. Aku keheranan. Aku takjub dan seakan tak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Dan seutas tali itu yang menjerat kakiku, juga baru pertama kali aku pernah melihatnya.

Namun belum sempat lenyap rasa heran yang kualami, mendadak aku dikejutkan oleh sebuah suara lembut mengucap ‘uluk’ salam kepadaku. Dan bersamaan dengan itu tiba-tiba suasana di rumahku berubah warna. Terang benderang oleh cahaya lembut, yang sekali lagi, belum pernah aku menyaksikan sebelumnya. Ketika aku menoleh, sesosok bayangan lelaki bertubuh tinggi semampai dengan pakaian jubah putih telah berdiri di belakangku. Aku terkesimak. Sekilas saja kulihat senyumnya yang lembut dan benar-benar menawan lelaki tampan itu.

Oleh karena rasa heran dan terkejutku aku tak mampu menyahut ‘uluk’ salamnya Mulutku kelu, meski hatiku berusaha mengucapkan salam membalasnya.
“Aku menjemputmu…,” kata lelaki itu penuh santun.
Aku tersentak.

“Ya.. sudah saatnya sekarang,” lanjut lelaki tampan yang wajahnya bercahaya. Dia mengangguk dan tersenyum lembut kepadaku. Dia seolah tak mempedulikan keheranan dan rasa terkejutku.

Sekali lagi, aku tak mampu menjawabnya. Mulutku kelu. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku menoleh ke arah sesosok tubuh tergeletak lemas melintang di pintu dapur yang adalah badan wadag-ku sendiri. Hatiku menangis menyaksikannya. Aku jadi memelas melihatnya. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi aku juga tak mampu menolaknya. Aku pasrah saat lelaki tampan itu dengan lembut dan penuh sopan santun membuka pintu depan rumahku. Terlihat di pelataran depan suasana yang terang benderang namun sepi dan sunyi. Suasana ‘sonya ruri seperti dalam alam impian. Tak ada angin tak ada suara dan tak ada sosok apa pun. Saat itulah sebuah kereta kencana melayang turun persis di depan rumahku. Dan lelaki tampan itu dengan senyum lembut penuh hormat dan lagi penuh sopan santun mempersilakan diriku menaiki kereta kencana yang menjemputku.

Ketika dilihatnya diriku tampak ragu, dia bertanya:
“Tunggu apa lagi?”

Saat itu aku teringat akan Ibu. Tiba-tiba aku merasa tak tega meninggalkan Ibuku yang saat ini sudah renta dan tak mampu apa-apa. Seluruh kebutuhannya akulah yang membantunya. Aku tak tega meninggalkannya, kataku kepada lelaki tampan itu.

Lelaki tampan itu tersenyum. “Baik,” katanya.

Saat itu juga tanpa kusadari dan tak kuketahui, tiba-tiba dalam sekejap diriku melesat bagaikan cahaya menuju ke dalam badan wadag-ku.


Aku kembali merasakan haus di tenggorokanku. Rasa sakit juga di kaki dan tubuhku akibat jatuh terserimpat tali tadi. Kudengar suara tongkat ibuku yang melangkah menuju ke arahku.



Kamis, 18 Februari 2010

cerita pendek

PANGGUNG 

oleh : Ahmad Suyudi



Malam ini, jika langit cerah dan hujan tiada datang,
orang-orang akan kembali terkesimak, ya terkesimak
oleh tembang Durma yang dilantunkan sang Aria Panangsang.
Tembang Durma yang dilantunkan dengan getar amarah, 
murka karena merasa terhina setelah membaca surat tantangan
dari penguasa Pajang, Sultan Hadiwijaya.


*** 

Malam ini, jika bulan bersinar terang, orang akan kembali menyaksikan kepiawaian Mas Suroto beraksi di atas panggung sebagai Aria Panangsang.

Dan semata-mata hanya karena Mas Suroto-lah yang bakal menjadi pemeran tokoh Kanjeng Adipati Aria Panangsang, panggung Kethoprak malam ini bakal semarak. Lapangan terbuka di sisi utara balai desa Mendut yang dijadikan arena pagelaran pasti bakal dipadati penonton dari berbagai desa di sekitarnya. Mereka dapat dipastikan bakal antri sejak sore hari untuk berebut karcis terdepan hanya untuk menyaksikan Mas Suroto. Ya, untuk menyaksikan Mas Suroto.

Ya! Tentu saja hanya karena Mas Suroto. Lelaki muda yang tidak hanya jempolan di atas panggung mampu menghanyutkan setiap penonton ke alam cerita. Dia lelaki gagah dan tampan yang tak pernah sombong oleh ketenarannya. Dialah satu-satunya personil Grup Kethoprak Sangga Budaya yang paling tersohor dan dikagumi banyak orang. Bukan saja karena wajahnya yang tampan dan menawan, atau tubuhnya yang gagah dan sempurna, melainkan karena kehebatannya menjiwai setiap karakter peran yang tengah dilakonkannya di atas panggung. Semua orang telah mengenal siapa dirinya. Banyak penggemar jatuh hati kepadanya. Apalagi setelah beberapa kali dirinya ditulis oleh beberapa surat kabar lokal, diwawancarai oleh radio, dan televisi daerah, namanya kian melambung ke langit.


Tidaklah mengherankan kalau setiapkali sehabis pagelaran dirinya selalu dikejar-kejar penggemarnya, terutama gadis-gadis dan ibu-ibu, hanya sekadar untuk menyalami dan mengucapkan selamat saja.


***

Malam ini, jika bunyi tabuhan gamelan sampagan telah diperdengarkan dengan semarak dan bersemangat, tanda pagelaran akan segera dimulai, berarti sudah malam yang ketujuh kelompok Kethoprak Sangga Budaya itu manggung. Dan sudah tujuh malam pelataran di samping balai desa itu dipadati penonton yang berdatangan dari berbagai desa di sekitarnya.

Kalau saja malam itu yang menggelar pertunjukan bukan Sangga Budaya yang telah kondang itu, barangkali penonton tidak akan membludak berjubel. Atau seandainya saja Mas Suroto, si bintang panggung yang sedang moncer itu tidak dapat hadir dalam pementasan malam itu, sudah pasti jumlah penontonnya akan berkurang drastis. Dan memang dialah magnet dari setiap pagelaran.

Pernah suatu kali setelah pagelaran berjalan setengah babak, ada seorang perempuan separuh baya yang sejak sore sengaja memilih tempat di depan paling dekat dengan panggung, tiba-tiba berteriak histeris. Kegilaan perempuan itu terjadi hanya karena menyaksikan Joko Umbaran yang dilakonkan oleh Mas Suroto membopong Roro Wilis yang jelita dibawa menuju ke pondoknya. Kontan saja para Hansip segera mengamankan perempuan itu.

***

Malam itu udara benar-benar cerah, persis seperti yang diharapkan oleh banyak pengunjung di arena pertunjukan Kethoprak. Langit biru dan bening. Beberapa gumpal kapas putih di barat daya, berkilauan. Bulan tanggal tigabelas bersinar terang. Persis seperti yang diharapkan oleh banyak orang di arena pertunjukan Kethoprak malam itu. Seakan langit pun mengerti apa yang diharapkan orang-orang di lapangan balai desa. Sementara itu bunyi gamelan perlahan-lahan mulai terdengar. Penonton di luar pagar arena tampak masih antre di depan loket penjualan tiket tanda masuk. Sedangkan di balik panggung, semua awak anggota Kethoprak Sangga Budaya bersiap-siap, ada yang membuka pakaian untuk berganti dengan kostum, ada yang sibuk berhias dan berdandan, saling bantu saling sibuk semuanya.

Di antara para pemain yang tengah sibuk itu tampaklah seorang perempuan muda bertubuh sintal dan berwajah cantik. Dialah Sunarti, salah seorang pemain yang juga andalan Sangga Budaya. Wanita duapuluh delapan tahunan itu sejak tadi tempak menempel terus di sisi Mas Suroto. Dia ikut sibuk membantu apa saja yang dicari dan dibutuhkan oleh Suroto.

”Aku pingin mengajakmu pergi besok pagi...,” ujar Sunarti setengah berbisik, sambil membenahi pakaian Mas Suroto.

”Hmm, ke mana...?”

”Ke mana saja. Pokoknya kita besok dapat istirahat dua malam. Warga Budaya dari Magelang akan menggantikan selama dua malam.”

”Kenapa mesti besok? Tidak bisa lain kali saja?”

”Tidak. Aku sudah kangen, Mas,” desis wanita cantik berleher jenjang itu. Tersenyum penuh harap kepada lelaki pujaannya.


Mas Suroto beranjak dan melangkah menuju tempat duduk. Matanya menatap wajah Sunarti yang memang malam itu cantik sekali. ”Tapi aku harus pulang dulu ke rumah. Tadi sore, adikku Wandi, menyusuliku agar segera pulang dulu setelah pertunjukan usai,” ujarnya setelah mendesah, gelisah.

”Besok saja Mas kau pulang!” desak Sunarti , ”jadi besok pagi kita bisa jalan-jalan dulu.”

Mas Suroto hanya menghela nafas panjang menanggapi ajakan Sunarti.

Sementara itu, tanpa sepengetahuan keduanya, Karjo, yang sebenarnya sudah lama mengejar-ngejar Sunarti tapi tak pernah ditanggapi, menatap kedua sejoli itu dengan roman muka tak senang. Hatinya terus saja memanas menyaksikan makin lengketnya Sunarti dengan Mas Suroto.

Dendamnya yang lama terbendung di dalam hatinya kian menggelegak. Sunarti berbuat seolah-olah tidak tahu kelau tengah diperhatikan oleh Karjo.

Karjo sendiri adalah orang nomor dua yang paling lekat di hati penonton. Mereka berdua, antara Karjo dan Mas Suroto, selalu terjadi persaingan. Keduanya selalu berusaha saling menunjukan kebolehan dan atas panggung. Tak mengherankan kalau kemudian penggemar secara tidak langsung terbelah menjadi dua. Sebagian tertarik kepada Mas Suroto, sedang yang lainnya kepada Karjo.

Dalam kondisi sepperti itulah Karjo selalu berusaha terus untuk dapat merebut hati Sunarti dari Mas Suroto. Sunarti sendiri tak jarang mengalihkan perhatiannya kepada Karjo. Lebih-lebih jika Mas Suroto kebetulan sedang tidak dapat bermain karena suatu halangan, atau kebetulan mendapat kontrak dibon kelompok kethoprak lain.

Namun seringnya Mas Suroto mendapat peran utama dalam setiap pementasan juga telah menambah iri dan dendam Karjo.

***

Rembulan terus bersinar terang. Pentas telah dimulai. Layar lebar telah tersingkap, membuka panggung pagelaran. Penonton mulai dimabukkan oleh penampilan Mas Suroto yang malam itu melakonkan tokoh Aria Panangsang. Pemuda berusia tigapuluhan ini benar-benar memang memilliki pamor tersendiri di mata para penonton malam itu.

Meskipun semua penonton sudah tahu benar jalan cerita yang didasarkan kepada sejarah kisah gugurnya Adipati Aria Panangsang, mereka tetap saja selalu seperti menikmati cerita baru. Tiada bosan-bosannya mereka menikmati dan mengambil hikmat dari lakon hidup sang Adipati. Mereka semua tahu benar, bahwa malam itu Aria Panangsang bakal gugur di tangan Sutawijaya. Ya, malam ini adalah episode ketiga lakon Aria Penangsang Lena.

Sementara itu, di balik layar, di belakang panggung, Karjo yang malam itu mendapat peran sebagai Sutawijaya, tengah mendekati Sunarti. Dia merayu dan membujuknya.

”Nar, Nar..., kamu ini mbok jangan kebangetan toh Sunarti !” Karjo kehabisan akal, ”Suroto itu sudah ada anak istrinya yang menunggu di rumah.”

”Aku tahu,” sahut Sunarti, ketus.

”Kalau tahu, kenapa kamu terus saja ngedan kepadanya?”

”Hhh! Memang orang bercinta mesti kawin, dan merebut istri orang?”

”Hm, bagaimana kalau besok pagi pergi jalan-jalan denganku saja?” Karjo merajuk.

”Aku sudah terlanjur janji dengan Mas Suroto , Kang.”

”Nar, apa kamu ndak tahu, tadi sore itu, Soroto disusuli, besok pagi dia harus pulang. Anaknya yang kecil sakit keras...,”

”Ya, ya... aku tahu. Tapi Mas Suroto mau pulang besok sore. Paginya akan berjalan-jalan dulu denganku.”

Karjo hanya mampu menghela nafas berat begitu mendengar jawaban Sunarti. Sementara itu Tembang Durma dari mulut sang Aria Panangsang telah terdengar, diiringi alunan gamelan menggiriskan hati yang mendengarnya. Tembang yang syairnya menyiratkan amarah dan kemurkaan itu terasa menggetarkan dan penuh perbawa. Semua penonton terkesimak. Mereka tersihir. Terhipnotis. Semua terpaku diam. Satu-persatu mereka dimabukkan oleeh kewibawaan yang terpancar dalam diri Aria Panangsan. Inilah bukti kematangan penokohan yang melekat pada diri Mas Suroto.

Apa yang mereka lihat adalah sang Aria Penangsang yang menggebrak meja penuh sesuguhan perjamuan hingga berantakan. Bangkit berdiri sang Adipati Aria Panangsang sambil merobek nawala yang baru saja dibacanya. Dan dengan mata yang nanar menatap jauh, seakan hendak mengirimkan kemarahannya yang menggelegak di dadanya itu kepada Sultan Pajang yang telah meremehkn dirinya dengan mengirimkan surat tantangan perang itu.

Sementara itu pula, Sutawijaya tengah bersiap-siap bersama para bala tentaranya, prajurit dan tamtama, menyongsong kemarahan Aria Panangsang di medan laga. Taktik dan siasat, serta rencana tipu muslihat telah rapih disimpannya di dalam benaknya. Segala macam petuah dan nasehat, rajah dan azimat, ditiupkan oleh sang Penasehat Ki Ageng Pamanahan lalu digengamnya di dalam jiwa raganya.

Ya, benar, Sutawijaya. Bocah ingusan itu sudah bersiap menghadapi kedigdayaan penguasa dari Jipang, Adipati Aria Panangsang.

Dengan sikap penuh ksatria dan perwira Aria Panangsang mengayunkan langkah menuju kudanya. Semua penonton membayangkan betapa gagah beraninya Aria Panangsang menggebah kuda tunggangannya menuju palagan. Darahnya menggelegak naik ke kepala. Hatinya penuh kemarahan. Harga dirinya merasa dilecehkan. Tanah Jipang bumi persada yang subur dalam genggamannya.

Mengiringi langkah sang Perwira, para panjak menabuh gamelan yang berirama sampagan. Penuh semangat. Semangat pahlawan yang menuju ke medan laga. Sementara itu pula dari lapangan, di depan panggung pertunjukkan, terdengar tepuk tangan dan tempik sorak para penonton melontarkan dorongan semangat dan kekaguman kepada pujaannya, sang Aria Panangsang.

”Nar..., Narti!" Karjo masih sempat mengingatkan Sunarti sebelum kakinya menginjak tangga menuju panggung. ”Ingat, Nar, akulah yang harus menang melawan Panangsang! Aria Panangsang harus mati di ujung tombakku ini!”

”Alaah...! Gombal!” sahut Sunarti seraya mencibir dan kenes.

Tepuk tangan penonton masih terdengar menghantarkan keberangkatan Aria Panangsang menuju medan laga. Kendatipun mereka semua tahu persis saat itulah Aria Panangsang akan menemui ajalnya di medan laga. Namun setiap penonton yang paham dan seksama menyimaknya jalan cerita peperangan yang penuh intrik dan kecurangan politik ini pasti akan senantiasa ingat, bahwa kematian Aria Panangsang bukan lantaran ujung tombak milik Sutawijaya. Bukan! Mereka akan selalu ingat tragedi Aria Panangsang itu. Bahwa Aria Panangsang mati oleh sebab dirinya terlena. Ya, terlena.

Saat pertarungan sengit berlangsung, Aria Panangsang terlalu menganggap remeh lawannya yang selalu dianggapnya bocah masih bau kencur. Di tengah keterlenaannya itu tombak Sutawijaya berhasil menembus perutnya. Usus di perutnya seketika itu terburai keluar. Namun bukan Aria Panangsang kalau hanya karena ususnya terburai lalu tewas. Dirinya bukanlah orang sembarangan yang membuatnya pantas menjadi adipati. Dia seorang yang memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang tinggi. Beberapa peperangan dimenangkannya. Dan rakyat menghormatinya. Maka ketika usus dari perutnya terburai keluar dia masih mampu menghadapi dengan sengit perlawanan si Bocah ingusan Sutawijaya. Namun usus-usus perutnya yang terburai menjadi gangguan. Ditariknya usus itu lalu disangkutkan ke gagang keris yang terselip di pinggang belakang.

Pertarungan tetap berjalan sengit. Bukan Aria Panangsang yang kewalahan karena dirinya sudah terluka parah dengan darah bercucuran di tanah dan usus-usus terburai dari perutnya. Sebaliknya, justru Sutawijaya-lah yang akhirnya keteter, terdesak, hingga Aria Panangsang berhasil memukulnya menelikungnya dan menjatuhkannya. Sutawijaya terjungkal ke tanah oleh pukulan telak Aria Panangsang. Tak ingin memberi ampun kepada lawannya, Adipati Jipang itu langsung merangsek dan menginjak pemuda Sutawijaya. Dan karena kemarahan yang sudah memuncak di kepala, Aria Panangsang langsung melolos keris dari sarungnya yang terselip di pinggang belakang. Seketika itu juga Aria Panangsang tersentak kaget. Matanya terbelalak lebar. Usus-usu itu putus teriris oleh ketajaman mata keris yang ditarik dari sarungnya. Dia lupa. Dia lena kalau usus-ususnya tadi disampirkan ke gagang keris yang terselip di pinggang belakang.

Tapi tidak malam itu! Cerita telah berubah total dari pakemnya. Karjo yang dikenal canggih dalam berakting akan mengubah total permainannya dengan melakukan improvisasi untuk mendapatkan greget yang lebih pada saat menghabisi nyawa Aria Panangsang. Inilah puncak dari permainan teaterikal yang belum pernah dilakukannya. Juga belum pernah dilakukan oleh pemain kethoprak mana pun.

Karjo dalam kapasitasnya sebagai Sutawijaya, tiba-tiba melompat ke atas panggung tanpa melewati anak-anak tangga yang telah disiapkan. Dari sini semua penonton menyaksikan improvisasi awal Karjo yang mengagetkan.

”Jo..., Karjo!” Terdengar suara dalang yang mengatur lakon, berteriak memanggil Karjo, ”Belum..., belum waktunya keluar, Jo! Penangsang belum mundur! Tunggu, sebent...!”

Terlambat! Karjo, sang Sutawijaya, sudah muncul di atas panggung, yang settingnya belum berubah, yakni masih ruangan keprabon Aria Panangsang. Meja kursi dan makanan tampak masih berserakan, berantakan, oleh kemarahan Aria Panangsang tadi. Tembang Durma pun belum usai sampai bait yang terakhir. Jalan pikiran para penonton telah melayang mendahului alur cerita, karena sebenarnya kisah ini telah melekat kuat di benak mereka. Sehingga kendati pun Aria Panangsang belum rampung melantunkan tembang kemarahannya itu, semua penonton sudah membayangkan adegan berikutnya.

Tetapi tidak malam itu! Tiba-tiba Sutawijaya sudah muncul di atas panggung berhadapan dengan Aria Panangsang di dalam ruangan keprabon, bukan di medan laga! Seketika itu juga semua penonton pun tersentak kaget. Mata mereka terbeliak heran.

”Hei! ”

”Hah?”

”Apa-apaan itu?!”

Beberapa penonton berteriak, tak mampu menyembunyikan rasa kaget dan herannya.

”Jangan ngawur! ... jangan emosi! Ngawur!”


”Hei, Mas Karjo! Jangan emosi! Jangan ngawur!”

Terlambat! Ujung tombak Sutawijaya terlanjur menghujam ke dada Aria Panangsang. Tentu saja juru rias pun belum mengatur usus palsu yang mestinya dikenakan oleh Mas Suroto nanti dalam adegan peperangan di medan laga. Beberapa kali Sutawijaya menghujamkan tombaknya ke dada dan perut Aria Panangsang . Seketika darah segar muncrat membasahi tubuh Aria Panangsang dan berceceran di atas panggung. Ini bukan permainan sandiwara!

Semua penonton terpana. Sekejap mereka bisu. Kaget. Tak percaya. Tubuh Mas Suroto limbung, sempoyongan, berlumuran darah. Terdengar rintihan keras dari mulutnya sebelum akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur di atas panggung. Meradang dan mengerang kesakitan. Darah mengalir dan berceceran di atas panggung. Darah mengalir di tombak dan di tangan Karjo. Suara gamelan terhenti seketika berganti dengan suara gaduh penonton bercampur teriak histeris ketakutan orang-orang yang panik begitu mereka semua menyadari apa yang telah terjadi.

”Katiwasan.. katiwasan...!”

”Ha ha ha ha...! Akulah Sutawijaya...! Aku Sutawijaya!” teriak Karjo dengan sekuat tenaga seperti orang kesetanan. Berdiri tegak di sudut kanan panggung, tanpa keder dan takut menatap para penonton yang menyerbu ke arahnya. Mereka semua dengan geram, heran, dan marah segera meringkus Karjo dan menyeretnya. Sementara yang lainnya saling berebutan ingin melihat dan memberi pertolongan kepada Mas Suroto yang terkapar berlumuran darah di atas panggung.

Cuaca cerah berubah redup. Di langit biru bulan menyusup di antara gumpalan awan-awan putih yang menghadangnya. Orang-orang mendadak bisu. Mereka tak mampu berteriak, atau bertepuk tangan lagi mengelu-elukan sang pujaan. Namun tak lama gemuruh mulut-mulut penonton yang kecewa bercampur geram terdengar. Mereka seperti baru terjaga dari sebuah mimpi buruk.



***








Depok, Mei 1992







Senin, 08 Oktober 2007

Cerpen:

SERTIFIKAT TANAH DUA PERSIL

oleh : Ahmad Suyudi

SEPERTI biasanya kalau hati dan pikiranku sedang tidak bisa diajak bekerja, maka pasti kubawa diriku keluar untuk sekadar membuang kepenatan dan mencari penyegaran di luar kamar. Biasanya aku menuju ke warung Mang Sidik tak jauh dari perempatan jalan Majapahit. Di sana biasanya ada beberapa orang yang selalu begadang. Ada kernet dan sopir bus dan angkot. Ada Pak Sastro yang mantan pemain wayangng dan senang mengagungkan masa lalunya menjadi seniman wayang orang dan digemari banyak orang. Ada juga Pak Napih, nama aslinya yang kubaca di papan nama di dadanya adalah Hanafi, seorang Hansip pasar yang sering sekali bertemu denganku di warung itu. Atau yang sudah pasti adalah Mang Udin, orang ini selalu melek sampai pagi karena menunggu kios rokoknya di sebelah warung bubur kacang hijau Mang Sidik.

Di warung bubur itulah aku bisa membuang segala macam kepenatan yang menjadi penyumbat pikiran dan membuat semua gagasan tidak dapat mengalir dengan lancar. Hanya sayangnya, sering aku tak sadar tergelincir dalam kenikmatan ngobrol sana-sini, ngalor-ngidul tak keruan ujung pangkalnya dengan Pak Sastra atau Pak Napih, atau kadang dengan si Togar kondektur bus jurusan Pasar Minggu-Depok, atau kalau kebetulan mereka sedang absen atau tidak hadir, aku bisa ngobrol dengan Mang Sidik seorang. Jika larut dalam obrolan-obrolan yang tak keruan itu aku serinng terlupa pada tulisan-tulisan yang telah aku targetkan harus selesai paginya.
Malam ini sudah ada sekitar enam cerpen dan beberapa puisi yang mogok di tengah jalan, ada beberapa artikel yang mestinya kelar dalam beberapa hari ini untuk mengejar kalender event, biar jadi tulisan yang uptodate, tak mampu aku melanjutkannya. Tiga cerpen sudah hampir tiga minggu mandek tertahan di atas mejaku. Dan satu lagi yang kutargetkan harus selesai besok pagi juga mengalami nasib sama, tertunda entah sampai kapan aku nggak tahu.
Semua kepenatan itu ditambah-tambah ketika tadi siang aku menerima sepucuk surat dari Ayah. Ayah menghendaki agar aku, bisa nggak bisa harus segera pulang.
“Aku khawatir kalau sertifikat itu tidak segera diselesaikan. Kamulah yang banyak mengetahui bagaimana secepatnya surat itu harus segera sampai di tangan kita.” Begitulah kata-kata Ayah dalam surat yang dikirim dengan pos kilat khusus itu.
Memang sejak tiga bulan yang lalu ketika aku pulang ke desa, aku mendengar bahwaa sebagian dari tanah di desaku bakal terkena proyek perluasan obyek wisata di daerah itu. Sangat beralasan kalau Ayah memiliki kekhawatiran terhadap sertifikat yang telah hampir enam tahun tidak selesai itu. Entah surat itu kini masih tertahan di mana aku tidak tahu.
“Yang jelas Ayah sudah melunasi semua syarat, termasuk biayanya semua sudah beres. Tapi nyatanya hingga sekarang mana? Kalau aku tanyakan ke Pak Lurah, maka beliau hanya menjawab: Tanyakan saja kepada Pak Carik! Bukan urusan saya. Lha, bukannya dulu Pak Umar menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Carik… Dan kalau aku tanyakan kepada Pak Carik, apa jawabnya? … memang lama Pak Umar, memang lama… jangan kuatir-lah! Masih banyak yang lainnya yang juga belum selesai seperti punya Pak Umar. Hampir delapanpuluh persil jumlahnya yang sampe sekarang masih ada di sana, belum diterima oleh pemiliknya yang sah. Punya Pak Widayat, itu lho tetangga Pak Umar juga, malahan sudah hampir duabelas tahun, juga belum turun. Terus tanah wakaf yang sekarang didirikan masjid Nurul Iman itu juga belum rampung. Tenang saja! Nanti akan dipanggil, pasti, pasti saya panggil ke kantor balai desa kalau sudah turun. Masih diurus…”
Begitulah cerita Ayahku ketika mengeluhkan sertifikat dua persil tanahnya, yang hingga sekarang belum juga selesai. Ayah. Aku maklum, beliau banyak membaca dari koran yang sering dibawa pulang oleh kakakku dari sekolah tempat bekerja sebagai tukang kebon. Beliau ternyata banyak mengetahui bahwa di mana-mana sekarang seringkali terjadi penyerobotan hak atas tanah, di mana-mana sering terjadi penggusuran demi kepentingan umum. Ternyata Ayah sangat tajam dalam menganalisa berita-berita di koran.
“Kalau kita sudah memegang sertifikat, kan kita lebih tenang. Kita lebih mantap. Karena hanya itulah secara hukum yang dapat membuktikan bahwa kita memiliki tanah ini, dan tanah sawah itu.”
Aku juga bangga dan sedikit agak terkejut ketika Ayah punya pengetahuan seperti itu. Tapi aku juga maklum karena setidak-tidaknya Ayah seorang pensiunan guru yang begitu kecanduan dengan membaca. Termasuk membaca koran-koran itu.
“Memang, ya, memang para tetangga kita semua tahu bahwa kita punya tanah seluas tujuh ratus meter yang sekarang kita tempati ini, dan sebidang sawah yang tidak seberapa luas itu. Tapi apakah orang lain, maksud Ayah, para aparat yang suka jadi calo-calo itu tahu bahwa tanah ini benar-benar milik kita? Dan apakah para tetangga bakal sanggup dan bersedia memberi saksi bahwa ini semua milik kita? Sertifikat! Sertifikat, Pram, hanya selembar surat itu yang akan mampu menjadi bukti kuat atas hak kita…, Ah, zaman sekarang, kaya tidak tahu saja! Biarpun mereka semua tahu bertahun-tahun kita memiliki tanah ini, bisa saja mereka mengatakan tidak tahu-menahu, apalagi kalau mereka sudah kena gertak lebih dulu. Siapa orang sekarang mau bersusah payah menjadi saksi? Oh, kalau mereka bilang tidak tahu, lalu kita mau apa? Masih untung kalau kita dapat ganti dengan harga murah. Lha, kalau kita diusir?”
“Tapi kita kan punya surat bukti pembeliian tanah ini, Yah,” jawabku dengan maksud menenangkan hati Ayah.
“Sudah mati!” tukas Ayahku.
“Sudah mati? Apanya yang mati? Tanyaku, kaget.
“Sudah mati. Semua saksi yang tanda tangan di atas segel itu sudah masi semua. Nyonya Rusidah, bekas pemilik tanah ini sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Pak Kerto sebagai saksi juga sudah mati. Dan satu lagi saksinya, Pak Darmo, juga sudah mati. Ah, sudah, sudah. Yang penting kita harus segera memiliki sertifikat itu!”
“Iya, iya,” jawabku, “Pasti nanti akan saya uruskan. Tapi kan kita perlu waktu dan uang buat naik ke Dinas Agraria.”
“Ya, secepatnya.”
Memang, di dalam hati, aku pun jadi merasa khawatir tentang masalah ini. Lebih-lebih akhir-akhir ini sering aku dengar masalah-masalah tanah yang makin banyak menjadi berita koran-koran.
Aku menuang kopi ke piring kecil, lalu meniupnya.
“Eh, Dik Pram! Tumben sudah sampai duluan di sini.” Tiba-tiba terdengar suara Pak Sastro di depan warung memasuki warung Mang Sidik, “Ke mana saja, beberapa hari ini saya tidak melihat Dik Pram minum kopi seperti ini?” lanjutnya sambil menepuk pundakku.
“Ah, Pak Sastra saja yang tidak pernah kelihatan,” tukasku setelah menyerutup kopi di piring kecil.
“Lho, saya kemarinnya ke mari, semalam juga ke mari.”
“Kemarinnya Pak Sastro tidak datang. Wong saya hanya sendirian sama Mang Sidik mendengar ‘pengumuman’ di sini. Malah Mang Sidik tuh tembus kemarin. Tuh tanya aja kalau gak percaya!” jawabku sambil menoleh ke arah Mang Sidik yang kemarin nyaris terima uang hadiah judi buntut yang dipasangnya.
“Lho, lho…, iya toh? Mang Sidik tembus pasangannya? Wah, wah, wah, Mang Sidik ini diam-diam saja habis dapet rejeksi nomplok!”
Mang Sidik hanya tersenyum mendengar banyolanku kali ini.
“Berapa nomor Mang Sidik?” tanya Pak Sastro kemudian.
“Apa, wong angka depannya salah semua. Saya nyesel tidak pasangi buntutnya. Kalau saja saya pasangi buntutnya pasti, pasti kemarin saya dapet, Mas Sastro,” jawab Mang Sidik sambil memeras jeruk. Mang Sidik sudah tahu kalau Pak Sastro pasti memesan air jeruk hangat dan telur setengah matang.
“Makanya jangan nafsu. Begitulah kalau kalau pinginnya dapat gede terus!” Pak Sastro menyindir, “Kecil-kecil saja kalau rutin setiap malam Kemis, kan lumayan! Buat tambahan. Bukan begitu, Dik pram?”
Aku mengangguk, “Betul, tapi kan siapa tahu bisa tembus empat angka sekaligus. Mang Sidik kemarin pasang empat lembar empat angka semua, tidak dipasangi angka buntutnya. Coba kalau nembus, bisa tutup seminggu warung ini, pulang dia ke Kuningan, Pak Sastro.”
“Eh, Dik Pram, ngomong-ngomong, sudah selesai belum cerita yang kau ceritakan Bapak tempo hari?” Tiba-tiba Pak Sastro mengalihkan pembicaraan. Dia memang sering jadi pengulas dan pengkritik setiap cerita yang sedang aku garap. Darinyalah aku banyak memperoleh masukan, kritik, dan sarang untuk setiap cerita yang sedang aku kerjakan. Aku sendiri senang dengan hal ini. Hitung-hitung jadi pengamat setiap cerita yang aku kerjakan sebelum aku kirimkan ke koran atau majalah untuk diterbitkan.
“Ya, hampir,” jawabku, “Hanya masih bingung untuk menyelesaikan ceritanya, Pak.”
“Lho, kan sudah pernah saya bilang, penyelesaiannya, sebelum sertifikat itu selesai diurus, tiba-tiba saja dua buah mesin buldozer datang dan mengeruk tanah-tanah itu. Begitu saja!”
Aku terkejut mendengar kata-kata Pak Sastro. Kenapa aku jadi lupa, padahal beberapa hari yang lalu dia pernah mengungkapkan hal itu kepadaku di warung ini juga.
“Iya, betul!” sahutku, kegirangan, memperoleh ide bagus untuk ending cerita yang sedang aku kerjakan dan ini berhenti di jalan. “Kalau begitu, aku pamit duluan, aku mau menyelesaikannya sekarang.”
Setelah keluar dari warung bubur Mang Sidik, aku langsung memutuskan, besok pagi aku harus segera pulang memenuhi janjiku kepada Ayah. Aku khawatir jangan-jangan cerita di dalam cerpenku akan terjadi atas keluargaku dan tetangga-tetanggaku, serta saudara-saudaraku di desa.
***
Depok, 7 Oktober 1991

dimuat di HU Jayakarta, 23 Oktober 1991